Jumat, 13 November 2009

Apa Yang Akan Dibawa Pergi Setelah Mati

Dikisahkan ada seorang tua yang kaya raya, tidak lama lagi akan meninggal dunia. Dia berpikir: semua harta benda tidak dapat dibawa pergi, lebih baik mencari seseorang untuk menemani kepergiannya. Orang kaya itu

mempunyai empat orang istri. Yang paling disayangi adalah istri
keempat, yang paling muda dan cantik. Dia berkata kepada
istri keempat, "Biasanya saya paling sayang pada kamu dan telah membelikan banyak perhiasan dan berlian untukmu. Sekarang saya akan mati, temanilah saya pergi. "Akan tetapi, setelah mendengar kata-kata tersebut, sang istri keempat langsung berkilah, "Kalau dulu kamu mencintai saya, saya mengucapkan banyak terima kasih. Tetapi kalau meninggal dunia ya pergilah sendiri. Sebagai suami istri, jodoh kita sudah habis. Saya tidak ingin pergi bersamamu."

Maka orang kaya tersebut mencari istri ketiga. Tetapi begitu istri ketiga
diminta menemaninya dalam perjalanan panjang untuk selama-lamanya, dia begitu terperanjat dan berkata, "Saya masih muda dan akan menikah lagi. Bermurah hatilah dan cari orang lain saja. "Setelah ditolak, orang kaya tersebut mencari istri kedua. Istri kedua hanya dapat menjawab demikian,
"Saya tidak dapat menemani kamu meninggal dunia. Pekerjaan di rumah masih begitu banyak yang harus saya kerjakan. Nanti setelah kamu meninggal saya akan mengatur segala perlengkapan upacara kematian. Mengingat
hubungan kita sebagai suami istri, saya akan mengantar kamu sampai ke pemakaman. "Setelah ditolak oleh ketiga istrinya, maka orang kaya tersebut pergi mencari istri pertamanya. Tetapi orang kaya tersebut juga
menyadari bahwa sikapnya terhadap istri pertama dalam sehari-hari
kurang baik dan sering tidak memperhatikan dia. Tetapi apa boleh buat,
orang kaya tersebut tetap menghampiri istri pertama dan berkata
dengan suara lembut, "Tidak lama lagi saya akan meninggal dunia,
maukah kamu menemani saya?" Istri pertama setelah mendengar kata-kata tersebut langsung menjawab, "Sebagai suami istri saya siap menemani kamu."

Kisah tentang hartawan kaya tersebut bagaikan kehidupan kita. Istri keempat
yang paling kita sayangi laksana badan jasmani kita. Setiap hari dirawat
dan memakai perhiasan serta tata rias yang menarik. Tetapi setelah seseorang
meninggal, badan jasmani ini akan ditinggalkan.


Sedangkan istri ketiga, bagaikan harta benda yang kita kumpulkan semasa hidup kita. Setiap hari kita menjaganya dan kuatir diambil oleh orang lain. Tetapi begitu kita meninggal dunia, harta benda kita juga tidak dapat dibawa.

Istri kedua, bagaikan sanak keluarga dan teman-teman kita. Masih berhubungan
selama kita masih hidup. Setelah kita meninggal dunia, mereka juga datang
dan menyatakan duka cita, setelah itu mereka sibuk lagi dengan pekerjaannya
masing-masing.

Sedangkan istri pertama melambangkan apa? Yaitu hati nurani dan perbuatan
kita. Biasanya kita begitu melalaikannya dan sampai di akhir hayat hidup
ini, hal-hal tersebut masih tetap bersama kita. Sering kita lebih menuruti
nafsu-nafsu yang timbul tanpa kendali, hasil perbuatan inilah yang kita bawa
setelah kita mati, baik berupa nama baik atau buruk, pahala atau akibat-akibat buruk yang telah kita perbuat semasa hidup.

Semasa hidup, manusia tidak dapat menemukan hati nurani yang sebenarnya setelah memperoleh kekayaan duniawi. Bagaikan kisah orang kaya
tersebut, begitu akan meninggal dunia terasa amat gelisah dan kuatir.
Badan jasmani, kekayaan serta istri cantik semuanya tidak dapat dibawa
pergi pada saat seseorang akan meninggal dunia. Hanya akibat dan kekuatan dari perbuatan baik dan buruk yang dapat menyertai kita setelah kita meninggal baik terlahir di alam surga atau alam yang menderita.

Disadur oleh : Tan Chau Ming dari bukunya Maha Bhiksu Shing Yun "I Zhe Lu
Hwa Liang Yang Ching"

Kamis, 12 November 2009

Sejarah Rekonstruksi di Aceh

Gempa bumi dan tsunami telah mengubah Aceh. Tsunami telah menghancurkan masyarakat Aceh yang sudah menderita akibat konflik selama 30 tahun dan provinsi yang dulu makmur pada tahun 1970 menjadi salah satu provinsi yang paling miskin di Indonesia, walaupun terkenal dengan kekayaan sumber alam dan gas. Dengan banyaknya aliran dana bantuan dan solidaritas dari masyarakat lokal maupun internasional dalam kebangkitan tsunami, tidak hanya menyediakan bantuan darurat yang sangat penting, tetapi juga menciptakan kesempatan untuk mengubah dunia politiknya.

Pemerintah Indonesia dan masyarakat Aceh menggunakan kesempatan: pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian perdamaian bersejarah dan menangnya mantan anggota GAM dalam kursi pemerintahan secara bebas dan pemilihan yang adil di provinsi dan administrasi kabupaten. Sulit dibayangkan perputaran yang sangat hebat dan yang bersemangat di sebuah daerah di mana tiga tahun yang lalu terputus dari dunia luar.

Gempa bumi dan tsunami
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi sebesar 9.0 skala Richter (Sumber: Survei Geologis Amerika Serikat) menimpa daerah pesisir Sumatera, Indonesia. Gempa bumi yang paling dasyat di dunia yang pernah terjadi dalam suatu generasi. Pusat gempa ada sekitar 150 km Selatan Meulaboh dan 250 km dari Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. Gempa bumi berasal dari tempat yang dangkal, kirakira 30 km dibawah laut Hindia. Kalau dilihat energi yang dikeluarkan, merupakan suatu bencana yang paling buruk di Indonesia sejak meletusnya Krakatau di 1883.

Gempa bumi menyebabkan tsunami yang sangat besar dengan kecepatan melalui Samudera Hindia menghempas ke daerah pesisir pantai di beberapa negara dengan dampak yang sangat besar yang tidak bisa dibayangkan di Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India dan Bangladesh begitu juga di negara Asia dan Afrika timur, memakan korban lebih dari 150,000 orang di daerah Samudera Hindia.

Tsunami dengan kecepatan tinggi dan 45 menit setelah gempa bumi menghantam daerah pesisir Aceh dan dalam hitungan menit menyapu bersih deretan pesisir Aceh sejauh 800km-sama besarnya dengan pesisir yang ada dari San Fransisco ke San Diego. Lebih dari 110,000 orang meninggal di Indonesia sendiri dengan lebih dari 700,000 orang hidup tapi kehilangan tempat tinggal karena rumah mereka tersapu bersih atau tersisa puing-puingnya saja. Tsunami telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa dibayangkan dan skala kerusakkan terhadap ekonomi daerah, infrastruktur dan administrasi tidak bisa diukur. Dalam sekejap hidup dan keamanan ratusan ribu orang yang selamat porak poranda.

Hanya tiga bulan kemudian, gempa bumi lain yang besar menimpa pulau Nias menyebabkan kerusakan tambahan yang hebat. Besarnya musibah ini mengundang banyak belas kasihan dan bantuan dari seluruh dunia. Masyarakat pribadi memberikan jumlah bantuan yang besar dan pedonor yang dengan baik hati membantu mereka yang selamat.

Kerusakan dan kerugian
Musibah-musibah ini menyebabkan kehancuran sosial, ekonomi dan lingkungan yang besar di daerah yang sudah miskin, sedangkan mengundang banyak bantuan darurat yang belum pernah dilakukan. Sebelum tsunami, lebih dari 28 persen populasi Aceh dan Nias hidup dalam kemiskinan dan pemulihan dengan cepat lebih dirumitkan dengan latarbelakang konflik berkepanjangan di Aceh.

Estimasi total kerusakan dan kerugian dari bencana di Indonesian ini sebesar Rp. 41.4 bilyar, atau AS$4.45 milyar. Dari keseluruhannya, 66 persen merupakan kerusakan, sedangkan 34 persen merupakan kerugian dalam bentuk pemasukan ekonomi. Kerusakkan ini memberikan gambaran pada hilangnya aset di negara juga dasar-dasar untuk mendefinisikan program rekonstruksi.

Sektor yang paling terkena dampaknya adalah sektor swasta yang didominasi oleh aset dan kegiatan yang langsung terkait dengan kehidupan pribadi masyarakat kota dan pedesaan: perumahan, perdagangan, pertanian dan perikanan dan transportasi dan jasa layanan (AS$2.8 milyar atau 63 persen dari total kerusakan dan kerugian). Kerusakan di sektor publik yang paling besar, sektor sosial dan administrasi pemerintah (AS$1.1 milyar atau 25 persen dari total kerusakan dan kerugian). Ada juga kerusakan lingkungan di sekitar terumbu karang dan daerah rawa/ hutan bakau dan juga rusaknya berhektar-hektar lahan tanam.

Penilaian di sektor kerusakkan dan kerugian


Sumber: World Bank, Mar 2007

Dampak Tsunami

Aceh

Nias

Korban

129,775

961

Orang yang hilang

36,786

18

Orang yang kehilangan tempat tinggal

192,055

42,200

Rumah yang perlu perbaikan (1)

78,000

-

Rumah yang perlu dibangun kembali(1)

128,000

13,500

Sekolah yang rusak porak pordana

2,087

-

Tempat layanan kesehatan yang rusak

106

16

Tempat penyedian sumber air yang rusak

10,124

-

Kapal pencari ikan yang hilang

4,717

-

Berhektar-hektar tambak ikan yang rusak

20,000

-

Petani yang kehilangan tempat tinggal

60,000

-

Sumber: tsunami Recovery Indicators, UNIMS and BRR December 2005. (1) BRR, CFAN 3 Summit, April 2006


Daerah Rekonstruksi

Mengenali seberapa jauh kerusakan ini, Pemerintah Indonesia menyatakan tsunami di Aceh merupakan bencana nasional.Tanggapan internasional yang ada datang dari segala penjuru dunia. 133 negara menyediakan bantuan terhadap misi kemanusiaan ini. Mengikuti akhir dari tahap respon darurat kemudian pemerintah membentuk badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi dan pelaksanaan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi untuk Aceh dan Nias, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk daerah dan masyarakat Aceh dan Nias.

Pemerintah telah menyetujui dana nasional sejumlah AS$ 2.3 milyar (Rp 21 trilyun) untuk program rekonstruksi dan rehabilitasi selama 5 tahun (lihat tabel di bawah). Pada bulan Juni 2007, BRR telah menghabiskan 60 persen anggaran sampai saat ini, menciptakan kebutuhan untuk membawa dana yang tidak dipakai ke tahun berikutnya.

BRR’s Annual debt moratorium

2005

AS$ 271,200,000

2006

AS$ 754,940,000

2007

AS$ 852,390,000

2008

AS$ 505,430,000

TOTAL

AS$2,383,960,000

Sumber: BRR

Bersama dengan program bantuan pemerintah, jumlah bantuan yang belum bisa ditentukan berasal dari masyarakat internasional dengan bantuan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar AS$8 milyar. Dengan dukungan bantuan yang besar, pemerintah meminta Bank Dunia untuk membentuk dana dari Multi Donor Fund (MDF) sebagai salah satu mekanisme untuk memastikan penyediaan bantuan keuangan yang terkoordinir dan efisien. MDF memberikan kontribusi yang efisien dan efektif terhadap rekonstruksi perbaikan Aceh dan Nias dengan mengumpulkan sumber donor dan menyediakan forum bagi dialog kebijakan dan koordinasi donor.


Sejarah Aceh

Konteks Sejarah

Provinsi Aceh, dikenal dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terletak di bagian utara dari Sumatera. Aceh dikelilingi rute perdagangan penting, selat malaka, di utara dan timur, Provinsi Sumatera Utara di bagian selatan, samudera Hindia di sebelah barat. Provinsi ini mencakup daerah seluas 57,365 km2 dan mempunyai populasi kira-kira 4 juta. Sekarang Aceh terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota.

Banda Aceh merupakan Ibu kota dari provinsi Aceh. Islam masuk ke Aceh awal abad ke sembilan dan menjadi agama yang paling besar. 98.7 persen dari populasinya adalah muslim (BPS 2002). Kerajaan Islam pertama Indonesia terletak di negara bagian Aceh yang paling kuat dalam perdagangannya. Pada tahun 1300 an Kerajaan Jaya Samudera, yang terletak di dekat yang sekarang merupakan Lhokseumawe, disebut lagi sebagai Pusat perdagangan dan studi Islam. Berdirinya Aceh sebagai pusat pelajaran Islam sesuai dengan sebutannya sebagai serambi mekah. Hukum syariah dipakai sebagai dasar hukum dari kerajaan di Aceh dan dijalankan di sistem administrasi Aceh.

Kerajaan Aceh didirikan pada awal abad 16-an dan bangkit menjadi lebih terkenal/kuat pada tahun 1511 setelah memenangkan Malaka dari Portugis. Era emas kerajaan datang pada awal abad ke 17 dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Mudah, yang membuat Aceh menjadi salah satu kekuatan militer dan perdagangan yang sangat kuat di daerah tersebut. Pada tahun 1820, Aceh menyediakan hampir separo dari kebutuhan seluruh dunia. Kerajaan yang kuat dan kaya ini, menjaga hubungannya dengan negara asing termasuk kerajaan Otoman, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Ketika Belanda mengambil Aceh pada tahun 1874, Masyarakat Aceh mulia perang gerilya yang berlansung sampai 1912.

Selama tidak dijajah setelah perang dunia II, Aceh memerankan peranan penting dalam menyediakan dana ke pemerintahan Republik Indonesia selama perjuangan kemerdekaan, Aceh diberikan daerah otonomi pada tahun 1949. Kekerasan terjadi setelah sisa rezim Soekarno. Pada tahun 1950 daerah otonomi baru diintegrasikan di provinsi Sumatera Utara memimpin perjuangan masyrakat Aceh pertama kali. Dipimpin oleh Daud Beureieh, perjuangan ini menghasilkan pernyataan ulang Aceh sebagai provinsi (1957) dan daerah otonomi pada tahun 1959. Akan tetapi, otonomi yang lebih besar ini tidak melindungi Aceh dari kegagalan ekonomi yang sangat parah selama masa-masa akhir pemerintahan Soekarno.

Di bawah Orde Baru, kondisi Aceh tidak membaik. Kekayaan yang nyata dari sumber alamnya sebagai fakta dan kemiskinan yang tetap ada di sisi lain telah membuat masyarakat merasa mendapatkan perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat. Pemerintah tidak meninjau ketidakadilan sosial ekonomi yang berkepanjangan dan gerakan separatis atau disebut GAM mulai tahun 1976 dibawah pimpinan Hasan Tiro. Pertikaian antara GAM dan pemerintah Indonesia terus berlangsung sampai 2005.

Dalam respon terhadap perkembangan masalah ini serta desentralisasi yang meluas, Aceh diberikan status otonomi khusus di bawah UU 18/2001. UU ini dimaksudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan situasi ekonomi yang parah sekali. Tiga karakteristik utama otonomi khusus Aceh sbb:

  • Bagian besar yang diambil kembali dari pendapatan minyak dan gas
  • Pemilihan langsung Gubernur dan Kepala pemerintah daerah (Bupati/Walikota)
  • Pelaksanaan hukum sharia (hukum Islam)

Kesepakatan Helsinki 2005 mengakhiri konflik yang berlangsung selama 30 tahun ini. Kesepakatan ini menawarkan kesempatan besar kepada masyarakat Aceh untuk meningkatkan kinerja ekonomi rakyat, mendapatkan standar hidup yang lebih baik, dan maju ke sistem tata laksana pemerintahan yang baik. Pemerintah pusat setuju untuk menyediakan bagian yang lebih besar atas hasil dari sumber daya alam dan alokasi khusus dari DAU. UU No. 11/2006 yang menunjjukkan pelaksanaannya disahkan bulan Agustus 2006.

Juga sebagai bagian dari kesepakatan ini, Pemerintah setuju untuk memfasilitasi pembentukan partai politik berbasis di Aceh dan pada bulan Desember 2006, Aceh mengadakan pemilihan demokrasi yang pertama kali. Irwadani Yusuf, mantan GAM dan negosiator perdamaian dipilih sebagai gubernur dan diangkat pada bulan Februari 2007.